Gagah dan sombong, dibawah terik matahari musim semi. Dinding dinding tangguh yang menciutkan nyali. Susunan batu yang menjadi penghalang besar bagi kami untuk menumpas tiran Dong Zhuo. Dari balik benteng itu, aku yakin, batu batu kematian telah siap dilontarkan guna meluluh lantakkan tengkorak tengkorak kami. Laskar mereka yang dipersenjatai dengan karya terbaik para pandai besi, siap mencabut nyawa pejuang kami yang mencoba menyentuh dinding mereka. Anak panah beracun tengah disiapkan untuk menembus kulit, merobek daging, meretak tulang dan menyebarkan wangi neraka. Kuda perang mendengus dan meringkik mengerikan seakan haus darah.
Dua sisi pegunungan yang mengapit benteng mereka begitu mencurigakan, begitu berbahaya. Benteng Hu Lao, jalan satu satunya menuju Luo Yang, dimana sang tiran menikmati surga dunia. Kami bersusah payah, datang dari seluruh penjuru Cina, menumpas laskar laskar tiran bejat, namun disini………di benteng Hu Lao. Buntu. Sulit. Mengerikan. Nyali pejuang kami ciut, bahkan lututku pun gemetar. Bukan tanpa mencoba kami berhenti disini, tapi Pejuang pejuang terbaik kamipun takluk tanpa kepala.
TIDAK, bukan dinding dinding tinggi itu, bukan batu batu kematian yang dilontarkan ketapel dari dalam benteng, bukan anak panah beracun mereka, bukan juga serangan balik cepat kavaleri mereka, tapi dia.
Kamu tahu dia ?
Tidak ada yang tidak tahu dia
Diantara pejuang
Lu Bu
Diantara kuda perang
Si Merah
Lu Bu, anak angkat si tiran maho Dong Zhuo, petarung mematikan, ujung tombaknya siap memutuskan urat nadi lawannya, anak panahnya siap melesat secepat dan seakurat petir menyambar. Di atas Si Merah yang siap berlari secepat angin badai demi menyelamatkan tuannya dari sergapan sergapan yang kami buat.
Biang Kekalahan !!! Lu Bu memburu Jendral Jendral kami, menewaskan mereka dengan mudah, menciptakan kepanikan diantara pejuang kami, lalu Jendral Jendral mereka memimpin pembantaian pejuang kami yang sedang panik. Sergapan dan jebakan, selalu gagal. Lu Bu selalu mampu selamat berkat kecepatan Si Merah, keahliannya menghalau panah dengan Tombak, dan sedikit keberuntungan.
Ketika mayat telah menumpuk seperti sampah, pejuang yang hiduppun semakin kehilangan nyali. Keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut larut. Serangan besar besaran kembali kami lancarkan.
Kembali terulang
Terulang
Terulang
] Mati, Maut, Mati, dan MAUT
Keberuntungan masih bersamaku, sudah cukup aku melihat rekan ku tewas mengenaskan, menambahkan diri mereka ke daftar makan siang burung gagak. Gagak gagak lapar yang melihat surga dibawah, ditempat kami merasakan neraka.
Jeritan jeritan tanpa suara, tangis tentara yang menjadi cacat, maupun raungan penuh emosi para Jendral menjadi satu dengan suara besi beradu, suara berderak derak tulang yang remuk, debuman batu batu kematian yang menghantam bumi, menggencet jasad jasad mengenaskan.
Darahlah yang kita semua hembuskan disini
Matilah yang kita semua tuju disini
Akupun telah bersimbah darah. Rasa asin darah, pahit besi, dan perih luka menggemakan keinginan untuk menang. Jantungku bergemuruh, bulu kudukku berdiri, ia ada disana.
Lu Bu yang Hebat ada disana, diatas Si Merah, sedang keasyikkan mencabuti nyawa seperti semudah mencabut bulu ketek. Kecepatan dan kekuatannya pantas dicatat dalam legenda.
MATI MATI MATI MATI MATI MATI MATI MATI MATI MATI MATI MATI
Rasa pening tiba tiba melandaku, kenapa ini? Sebegitu mematikankah dia hingga aku setakut ini? Aku menatapnya kembali, mencoba menguatkan mental.
MAUT MAUT MAUT MAUT MAUT MAUT MAUT MAUT MAUT MAUT MAUT MAUT
Setelah menyadari bahwa kuda yang ku tunggangi tiba tiba melangkah mundur, Nyaliku tiba tiba benar benar runtuh. Aku kembali menatap Lu Bu.
GAWAT
Lu Bu menatap balik tepat ke mataku.
GAWAT
Tanganku yang gemetar menyiapkan kuda kuda bertahan. Lubu Bu bisa saja memburu dan membunuh ku saat itu juga, dengan langkah langkah menakjubkan Si Merah dan Ayunan tombak bulan sabitnya yang haus darah. Tapi TIDAK. Setelah memotong jadi dua seorang pejuang pemberani, ia hanya menatap ke arahku. TIDAK, ia menatap ke belakangku.
Sesosok tangan besar berbulu menepuk pundakku.
“Kakak, jangan gentar, dia juga manusia”
Sosok kekar dan kasar dengan tatapan tanpa rasa takut itu berkuda di sisiku. Nyaliku kembali. Zhang Fei, adik angkatku yang perkasa berada disampingku.
“Kakak, kemenangan akan berada di Pasukan kita jika kita mampu menaklukannya”
Badannya tinggi kokoh dengan janggut indah terawat yang digulung dan dilindungi pelindung khusus. Dia adik angkatku juga, Guan Yu. Semangatku naik hingga kepala.
Si Merah meringkik garang, melompat menghampiri kami. Lu Bu melotot, mulutnya meraung mengerikan, tangannya yang kuat mengibaskan Tombak dengan tenaga luar biasa menju tepat ke leherku.
Zhang Fei dan Guan Yu melompat dari kuda.
Dengan tenaga yang luar biasa juga Senjata Zhang Fei dan Guan Yu menghalau Tombak Lu Bu kebawah, membuatnya tertancap ke tanah.
KESEMPATAN
Aku terkejut.
GELAP dan bau
MERAH GELAP
Kuda !!!!
Si Merah menyerbuku, menimpaku jatuh tepat ketika Pedang dikedua tanganku mengancam nyawa Lu Bu yang kini telah mencabut tombaknya. Amukan Lu Bu semakin menjadi, di sudut mataku yang perih berdarah dihajar Si Merah melihat Guan Yu dan Zhang Fei berjuang mati matian.
Aku bergulat dengan kuda brengsek ini !!
Perutku terinjak, dan kini sepatu kuda itu hendak meremukkan kepalaku. Meringkik kesakitan, Kuda itu terhempas. Tubuh Si Merah tertabrak tubuh Guan Yu yang jatuh dihantam oleh tinju Lu Bu. Rasa sakit kulupakan, bangkit menyongsong Lu Bu dan Zhang Fei yang bertarung seperti binatang buas.
Jangkauan pedangku lebih pendek dibandingkan tombak Lu Bu. Aku harus mampu bergerak mendekat dan menggunakan Pedang Pedang pendekku dengan efektif. Sementara Zhang Fei mampu mengimbanginya bermain tombak, jika aku menyerang langsung pasti hanya akan mengganggu konsentrasi Zhang Fei, karena dia pasti akan terfokus untuk melindungiku yang tidak sehebat mereka dalam beladiri.
Aku menanti kesempatan, mengamati gerak gerik Lu Bu dengan cermat.
DERAP KUDA !!
SI MERAH !!!!
Gawat ! Aku menoleh. Luar biasa, Guan Yu menungganginya !!! menuju Lu Bu, mata tombaknya terayun ayun dengan anggun, menanti darah Ksatria terhebat di Cina.
WHUSH WHUSH WHUSH
TRANG
Serangan serangan anggun khas Guan Yu dari atas Si Merah yang menggeram marah dihindari dan ditahan. Bagaikan Macan Zhang Fei menyerang Lu Bu dari samping. Lu Bu menghindar, melompat ke udara bagaikan Naga, melayangkan Tombaknya yang bergerak seperti lidah api menjilat jilat. Guan Yu hanya mempu bertahan, beberapa serangan Lu Bu kena, tepat di bahu dan dada. Zirah pelindung rusak dan untuk keduakalinya Guan Yu dibuat jatuh.
Lu Bu jatuh dari udara tepat diatas Si Merah. Mata tombak Zhang Fei melayang cepat, sekuat tenaga. Leher Lu Bu !!! ia belum seimbang di atas Si Merah. Sedikit lagi, leher itu terputus. Si Merah berdiri sembari meringkik. Tombak Zhang Fei TIDAK SAMPAI. Zhang Fei kehilangan keseimbangan, jatuh tersungkur, lalu tubuhnya terinjak Si Merah.
Lu Bu tertawa. Aku benci melihat tertawanya. Pedang Takdir dan Pedang Nasib, menyongsong perut Lu Bu. Si Merah melangkah cepat, menghindari penunggangnya dari bahaya.
DUK
Wajahku ditendang.
“Berani juga kamu, kukira hanya akan berlindung dibalik punggung adikmu”
Diam, aku malu, aku marah. Aku menyongsongnya, kedua pedangku teracung.
“Demi kebenaran !!!”
“Kakak!”, “Kakak!”
Zhang Fei ! Guan Yu ! mereka bangkit, menggunakan tombak menyapu kaki kaki Si Merah hingga terjungkal. Menggunakan tombaknya sebagai tumpuan, Lu Bu melompat dari Si Merah. Merunduk. Kakinya hampir menghantamku. Ia membelakangiku menghadap Guan Yu dan Zhang Fei yang menyerangnya bersamaan.
KLANG
Tiga tombak beradu, tenaga Guan Yu dan Zhang Fei melawan tenaga Lu Bu. Pedang Takdir menuju kepala dan Pedang Nasib menuju pundak. Aku tetap menyerbu dengan hati hati.
ZRAT
DARAH
MAUT
Golok besar, meluluh lantakkan Zirahku, mengiris dadaku.
GILA, beruntung aku menyerbu dengan hati hati.
Lu Bu menahan tenaga Guan Yu dan Zhang Fei dengan satu tangan !!!
Tangan lainnya menggenggam golok yang baru saja nyaris mengantarku kepada MAUT
Menahan perih di dada, aku kembali menyerang Lu Bu. Golok besarnya menahan Pedang Takdir, tapi Pedang Nasib mampu membacok punggungnya, sebelum ia berputar cepat dan menghantam lenganku yang menggenggam pedang Nasib dengan sisi tumpul Golok besarnya. Aku jatuh tersungkur, dengan lengan nyaris patah. Tapi Guan yu berhasil menaklukan pertahanan Lu Bu dan membacok bahunya. Zhang Fei menyapu kakinya.
TERJATUH DENGAN TELAK. TOMBAK DAN GOLOKNYA LEPAS.
Lu Bu berkelit. Bertumpu pada tangannya, ia berakrobat ke atas Si merah yang tiba tiba menubruk Zhang Fei dan Guan Yu.
“Kalian hebat, sampai jumpa”, Lu Bu menatap sekeliling. Laskar kami telah mengepungnya. Tak ada jalan melarikan diri. Ia menyeringai, lalu menamparkan kakinya pada Si merah. Si Merah melompat lompat dan berlari seperti setan. Menginjak dan menabrak. Tapi aku melihat, laskar kami berjuang mati matian mengalahkan Lu Bu yang telah terkepung sedemikian rupa. Tanpa tombak dan golok, serta luka bacok di punggung dan bahu. Lu Bu tetap sosok mematikan. Lu Bu lolos, namun dengan kondisi yang “mungkin” membuatnya tidak akan berpartisipasi lagi dalam pertempuran.
“Kakak, lihat !! dia lari terbirit birit !!”
“Pertempuran ini akan kita menangkan !!”
“Tentu, Kebenaran, Keadilan, adalah KEMENANGAN !!! Mari kita taklukan Benteng ini, dan melaju menuju Luo Yang !!! Hancurkan Tiran Dong Zhuo !! Selamatkan Kaisar !!”
Peperangan memilukan terus berlanjut. Benteng Hu Lao perlahan lahan takluk. Banyak Laskar musuh kehilangan semangat, tanpa Ksatria terbaik mereka di medan pertempuran. Malam ini, BENTENG HU LAO TAKLUK.